(Jakarta, 12/3)
Kementerian PPN/ Bappenas menyelenggarakan Sosialisasi Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 Bidang Tata
Ruang dan Pertanahan, yang bertujuan untuk menyebarluaskan dokumen
perencanaan lima tahun ke depan kepada stakeholders, untuk
mewujudkan kesepahaman di bidang tata ruang dan pertanahan, serta dapat
mendukung implementasi kebijakannya. Adapun peserta acara tersebut
adalah perwakilan Komisi II DPR RI dan 12 Kementerian/Lembaga (K/L).
“Perpres No. 2 Tahun 2015 yang telah
ditandatangani tanggal 8 Januari 2015, merupakan acuan bagi kita semua,
bukan hanya bagi pemerintah. RPJMN tahun 2015-2019 menjadi acuan
penyusunan dan penyesuaian hal-hal yang signifikan bagi RPJMD, RKP, dan
Renstra K/L,” ungkap Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian
PPN/Bappenas, Oswar Muadzin Mungkasa.
Arahan RPJMN Tahun 2015-2019 untuk
bidang tata ruang adalah memantapkan kelembagaan dan kapasitas penataan
ruang di seluruh wilayah Indonesia, serta menyediakan infrastruktur yang
sesuai dengan rencana tata ruang.
“Persoalan tata ruang sekarang ini adalah implementasi yang tidak berjalan. Stakeholders tidak melaksanakan perencanaan yang sudah dirumuskan. Harus ada harmonisasi dan networking antar
institusi dan antar peraturan perundang-undangan,” ungkap Prof. Dr. Ir.
Herman Haeruman, Js.Mf., Pakar Perencanaan Regional dan Studi
Lingkungan.
Hal yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah pembangunan ruang tidak boleh hanya didominasi market-driven, tetapi harus memperhatikan aspek ekologi dan keberlanjutannya, serta aspek sosialnya (social acceptability).
Perencanaan tata ruang pada hakikatnya,
menurut beliau, memberikan jaminan bagi publik akan tersedianya ruang
tetap untuk jangka panjang. Misalnya, ruang pasar yang ada saat ini akan
tetap ada dan berfungsi untuk 50 tahun ke depan.
Sementara itu, Budi Mulyanto, Deputi
Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat BPN,
mengatakan yang diperlukan dalam perencanaan tata ruang adalah
pengelolaan sumber daya alam, bukan hanya tentang tanah dan ruang saja.
Oleh karena itu, harus ada kesepahaman tentang tanah, air, udara, dan
tambang. Nomenklatur yang tepat akan berdampak pada peraturan
perundang-undangan dari masing-masing sektor terkait tata ruang dan
pertanahan yang harmonis.
Adapun arah kebijakan untuk bidang tata ruang ada empat. Pertama, meningkatkan ketersediaan regulasi tata ruang yang efektif dan harmonis. Kedua, meningkatkan pembinaan kelembagaan penataan ruang. Ketiga, meningkatkan kualitas pelaksanaan pena-taan ruang. Keempat, melak-sanakan evaluasi penyelenggaraan penataan ruang, melalui pemantauan dan evaluasi yang terukur.
Sementara, arah kebijakan untuk bidang pertanahan juga ada empat. Pertama, membangun sistem pendaftaran tanah publikasi positif. Kedua, reforma agraria melalui redistribusi tanah, pemberian tanah dan bantuan pemberdayaan masyarakat. Ketiga, pencadangan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Keempat, pencapaian proporsi kompetensi SDM ideal bidang pertanahan untuk mencapai kebutuhan minimum juru ukur pertanahan.
Beberapa tantangan di bidang tata ruang dan pertanahan, antara lain. Pertama, demografi (struktur demografi nasional dan provinsi, perubahan proporsi pertumbuhan). Kedua, kesenjangan antar-wilayah (dominasi Jawa-Bali dan Sumatera yang masih tinggi). Ketiga, kawasan perkotaan (urbanisasi dan migrasi, penurunan daya dukung). Keempat, kawasan perdesaan (penyediaan pangan nasional, defisit SDM dan lahan). Kelima, pemekaran wilayah (pembentukan daerah otonomi baru tanpa mempertimbangkan sumber daya dan keberlanjutan program). Keenam, lingkungan hidup (penurunan kualitas lingkungan). Ketujuh, kebencanaan (integrasi ke dalam RTR). Kedelapan, kelembagaan (koor-dinasi, sistem informasi, kualitas SDM, penyediaan data, PPNS). Terakhir, pendanaan (insentif untuk penyelenggaraan penataan ruang, integrasi ke dalam rencana pembangunan).*